Minggu, 26 Juli 2009

Pendidikan Seni di Sekolah, Memprihatinkan!

Di sekolah-sekolah seperti SD, SMP, dan SMU, kesenian termasuk salah satu pelajaran wajib dalam kurikulum formal. Sayang, pendidikan kesenian ini seolah kehilangan dukungan, arah dan orientasi utamanya
by Mh. Nurul Huda


Orientasi utama pendidikan seni di sekolah-sekolah antara lain untuk menanamkan nilai-nilai yang dapat mendukung kelestarian suatu tradisi. Nilai-nilai ini bisa meliputi sejarah, adat-istiadat, tata susila, dan spirit dalam suatu karya seni. Karena itu, seperti pernah ditulis oleh Juju Masunah (2003) mengenai pendidikan seni di sekolah formal, pendidikan seni di sanggar amat berbeda dengan di sekolah-sekolah. Bila dalam sanggar lebih ditekankan penguasaan ketrampilan yang mengarah pada keahlian dan profesionalisme, pendidikan seni di sekolah formal bertujuan menumbuhkan kepekaan rasa estetis dan budaya serta pengalaman kreatif yang berfungsi membantu perkembangan siswa dari segi intelektual, emosional, dan spiritualnya.

Pemahaman semacam inilah yang kerapkali disalah mengerti oleh berbagai praktisi dan pejabat di lingkungan dinas pendidikan di berbagai daerah. Pendidikan seni di sekolah cenderung diorientasikan untuk kepentingan pertunjukan dan pariwisata.

“Melalui pendidikan di sekolah, berbagai kesenian itu diharapkan bisa diterima pasar dan menunjang pariwisata,” ujar Drs Suwardi, Kepala seksi kurikulum Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan. Lebih lanjut ia menandaskan kebijakan yang diambilnya merupakan kelanjutan dari kebijakan “link and match” yang pernah digariskan oleh mantan menteri pendidikan dan kebudayaan Kabinet Pembangunan VI, Dr. Wardiman Djojonegoro.



Hanya formalitas belaka

“Pendidikan seni di sekolah baru sebatas formalitas saja,” ujar Dr. Halilintar Latief. Menurut Koordinator Pendidikan Seni Nusantara (PSN) Sulawesi Selatan ini pelajaran kesenian di sekolah-sekolah pada umumnya belum menyentuh esensi pendidikan seni. Keberadaan mata pelajaran ini baru sebatas formalitas yang signifikansinya hampir tak pernah diperhitungkan.

Minimnya apresiasi terhadap pendidikan seni semacam ini, lanjut Halil, akibat kebijakan pendidikan pemerintah yang hanya berorientasi pembangunan material. Karenanya meski pendidikan seni di sekolah tidak dihapus tapi arahnya sekadar mengacu pada sejauhmana para anak didik bisa pentas di atas panggung.

“Di sekolah-sekolah pendidikan seni hanya mengadopsi estetika Barat. Misalnya banyak anak didik yang tahu Tari Pakarena, tapi mereka tak mengerti benar bagaimana sesungguhnya perempuan Makassar,” ujar budayawan Sulawesi.

Pendapat Halil ini disampaikan kepada Desantara minggu lalu, dan dibenarkan oleh A. Marlia, seorang guru pengajar pelajaran kesenian di SMP 17 Makassar. Menurutnya, pendidikan seni memperoleh perhatian lebih saat dibutuhkan dalam pertunjukan tertentu, sementara aspek apresiasi dan makna sosialnya tak pernah dianggap menjadi bagian penting dalam mata pelajaran tersebut.

Pengakuan senada juga diungkapkan Lukman, seorang guru di sekolah yang sama, bahwa pelajaran kesenian sekedar formalitas belaka. Buktinya guru-guru kesenian sangat kurang. Lebih lanjut, katanya, kadang kala pelajaran kesenian justeru diampu oleh guru mata pelajaran lain.

Kondisi semacam ini terjadi di berbagai sekolah di Sulawesi Selatan. Di Kabupaten Bulukumba, misalnya, sebagian besar sekolah tidak memiliki guru kesenian yang memadai. Hj. Nurmi, kepala sekolah SD 302 Lattae Bulukumba, malah menuturkan perihal pendidikan seni di sekolahnya yang tanpa arah lantaran tak satu guru kesenian yang mengerti materi yang mereka ajarkan.

”Bagaimana bisa mengerti, di sini tidak ada guru kesenian, kita hanya bergantian saja mengajar,” akunya jujur. Karena itu, lanjutnya, materi kesenian yang diajarkan hanya menyanyi terus. ”Soalnya hanya itu yang mereka tahu,” selorohnya lagi. ”Bahkan menyayi pun kadang nadanya nggak benar,” sambung A.Johrah dan Sahnia, kolega sesama guru di sekolah tersebut.



Perhatian pemerintah nihil

Nihilnya kesadaran pemerintah mengenai arti penting kesenian dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat, nampaknya memang layak dikambinghitamkan. Ketiadaan perhatian pemerintah berakibat pada guru-guru kesenian sendiri yang merasa mata pelajaran diampunya hanyalah materi sekunder sifatnya.

Komentar Halilintar Latief berikut ini mungkin semakin membuat hati kita getir. Dosen kesenian di Universitas Negeri Makassar (UNM) ini sempat berseloroh bahwa pendidikan kesenian hanyalah urutan ke-32 dari 32 mata pelajaran di sekolah. “Itu kalau mau dilihat mana yang diprioritaskan, guru-gurunya pun sampai minder,” ujar budayawan ini dengan sedikit bercanda, menuturkan nasib pendidikan seni di sekolah-sekolah di Makassar.

Kenyataan yang teramat getir memang. Namun demikian rasanya kita juga tak perlu gentar menghadapi kegetiran ini. Upaya-upaya keras sekelompok guru, seperti yang tergabung dalam forum Pendidikan Seni Nusantara (PSN) dan forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Kesenian yang giat memperjuangkan reformasi kurikulum dan arah pendidikan kesenian di sekolah-sekolah ini, bisa menjadi awal yang menjanjikan.

“Kami berkumpul karena melihat kondisi pendidikan seni di sekolah yang masih memprihatinkan,” ujar Halilintar Latief, yang juga menjabat koordinator PSN Sulawesi Selatan ini. [TIM DESANTARA]

*Dimuat di Harian FAJAR Makassar, 31 Mei 2007. Kerjasama Yayasan DESANTARA dan Harian FAJAR Makassar, Sulsel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

unek-unek