Minggu, 26 Juli 2009

Mendidik Guru Seni

BISAKAH seniman itu dicetak? Ini memang perdebatan klasik. Ada banyak orang yang yakin, seniman itu sulit dicetak kalau memang orangnya tidak punya talenta seni yang dibawanya sejak lahir. Apalagi kalau ia tumbuh di sebuah lingkungan yang jauh dari kawasan seni dan besar di masyarakat yang tidak begitu menghargai kesenian sebagai hal yang utama



Namun, banyak pula orang yang yakin, seniman itu bisa dicetak. Seseorang bisa diajari membuat ukiran, meskipun keluarga orang itu tak pernah bersentuhan dengan pahat ukir. Seseorang bisa diajari menari, meskipun ayah ibu dan nenek kakeknya tak pernah bisa menari. Seseorang bisa diasah kepekaannya soal seni sastra meski keluarganya tak pernah berurusan dengan seni sastra. Caranya adalah orang itu harus dikeluarkan dari habitat aslinya dan dididik secara intensif oleh guru yang mumpuni. Adapun berhasil atau tidaknya tergantung sejauh mana orang itu memang menekuni profesi yang bukan berasal dari keturunannya.

Sekolah khusus seni dan kursus-kursus seni adalah tempat untuk mencetak itu. Lalu, siapa gurunya? Tentu saja seniman yang sudah jadi. Tak mungkin mereka diajari oleh seniman yang belum mahir pada bidangnya. Bagaimana ilmu itu bisa diturunkan kalau gurunya saja meragukan?

Nah, persoalan besar dalam bidang menurunkan ilmu yang bersentuhan dengan dunia seni terletak pada metode pengajaran itu sendiri. Ada guru seni yang tak tahu bagaimana metode mengajar, karena mereka sendiri tergolong apa yang disebut seniman alam, tak pernah belajar sebelumnya. Ini banyak sekali ada di tengah-tengah masyarakat kita. Di pedesaan, orang-orang tua yang ahli mekidung dan megeguritan, tak bisa mengajarkan dengan praktis apa yang dikuasainya. Kalau ada yang minta belajar kepada mereka, calon muridnya itu disuruh menirukan saja apa yang mereka kuasai. Tentu saja berbeda jika guru itu punya konsep dan metode mengajar. Barangkali calon muridnya diajari cara menarik napas, menahan napas, memperdengarkan suara melalui saraf perut dan sebagainya untuk belajar mekidung. Ada teknik olah vokal yang biasa kita jumpai pada saat belajar menyanyi yang benar.

Lalu, siapa yang tahu metode itu dan siapa yang memberikan metode pengajaran itu kepada sang guru? Kalau ditarik ke atas, tentu saja jawabannya, guru itu sebelumnya juga berguru kepada seorang guru. Artinya, guru itu juga dicetak di sekolah khusus untuk itu. Ada institusi tersendiri yang menyelenggarakan pendidikan untuk itu.

Muara permasalahan ini akhirnya tertuju kepada sekolah atau perguruan yang mencetak guru-guru yang bergerak di bidang pengajaran seni. Kita tak banyak punya institusi seperti itu. Salah satu yang kita punyai adalah Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja. Kampus ini memang dikenal sebagai tempat mendidik calon-calon guru, untuk bidang apa saja, tak hanya bidang seni. Di kampus ini ada fakultas yang menangani bidang pendidikan guru yang berbasis seni, yakni Fakultas Bahasa dan Seni. Tempat inilah sesungguhnya kawah candradimuka untuk mendidik guru-guru yang akan menularkan bidang seni. Yang dididik di sini adalah betul-betul calon guru, bukan menjadikan mereka seniman praktisi.

Lalu, sejauh mana kampus di Bali Utara ini berkiprah untuk menggairahkan kehidupan seni di masyarakat? Ini yang bisa dipersoalkan. Apakah kampus seni itu hanya sekadar menara gading atau sudah berhasil menelorkan guru-guru seni yang berdampak positif di masyarakat? Ini yang sulit mencari jawabannya.

Orang yang masuk ke Undiksha, sebagaimana umumnya orang yang kuliah di perguruan tinggi, tentu ingin mendapatkan ilmu yang bisa dijadikan sandaran kerja setelah lulus di perguruan tinggi itu. Lulusan Undiksha tentu sangat berharap untuk diangkat menjadi guru, dalam pengertian yang formal, ada ruang kelas di mana seorang guru mengajarkan ilmu kepada beberapa muridnya. Bukan guru yang tidak formal, misalnya, mengajar di kursus-kursus atau sanggar-sanggar yang kehidupannya tidak mapan. Sementara kita tahu, murid-murid di sekolah formal, katakanlah itu SD, SLTP, SMA dan yang sederajat, punya minat yang berbeda-beda. Ada yang suka matematika, ada yang suka olah raga, ada yang suka seni. Seorang guru seni di sekolah itu mengajar kepada semua murid tanpa membedakan minat para murid. Ini yang membuat keberhasilan guru seni seolah-olah tidak ada artinya karena beragamnya minat para murid. Alhasil, guru seni di sekolah formal itu hanya terbatas memberikan wawasan seni kepada muridnya. Berbeda dengan sanggar atau kursus seni yang memberikan praktik secara langsung.

Kita bisa mengamati secara langsung di masyarakat. Kalau ada sanggar teater, seberapa banyakkah alumni Undiksha yang terlibat di sana? Apalagi kalau itu sanggar tari, pasti pengajar yang terlibat di sana lebih banyak lulusan Institut Seni Indonesia (ISI), perguruan tinggi yang mencetak seniman tari, dan bukan mencetak guru tari. Demikian halnya dunia seni yang bersentuhan dengan sastra dan bahasa, sulit sekali untuk mencari korelasi antara kegairahan seni ini dikaitkan dengan keberhasilan atau kegagalan pendidikan di Undiksha. Namun, kampus seperti Undiksha tetap dibutuhkan, karena dari sini lahir guru-guru (termasuk guru seni) yang punya metode dan konsep pengajaran yang benar.

* Putu Setia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

unek-unek