Minggu, 26 Juli 2009

Tolak RUU BHP, Selamatkan Pendidikan Kita !

Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) sudah menginjak pembahasan draft final Desember 2007 lalu. Saat ini pemerintah tengah melakukan proses sosialisasi. Benarkah RUU BHP solusi bagi pendidikan nasional Indonesia?

APA ITU UU BHP?
Undangan Undangan Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) adalah mandat dari pasal 53 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang mewajibkan setiap penyelenggara pendidikan harus mendirikan badan hukum pendidikan. Sebagai badan hukum, sekolah atau perguruan tinggi diberikan kewenangan mengurus dirinya sendiri mulai dari urusan akademis hingga keuangan. Dan hal ini berlaku bagi sekolah atau perguruan tinggi berlabel negeri dan swasta.

Alasan pemerintah, UU BHP untuk lebih memajukan kualitas pendidikan Indonesia dengan otonomi (kewenangan) yang diberikan kepada sekolah atau kampus untuk mengurus dirinya sendiri. Pemerintah juga meminta keterlibatan masyarakat untuk membiayai pendidikan terutama dari dunia industri untuk turut mendanai pendidikan?

Lha, bukankah pendidikan itu tanggung jawab Negara? Kenapa bukan anggaran pendidikan 20 persen yang direalisasikan?

KENAPA RUU BHP DIRANCANG?
Kenapa pemerintah merancang UU BHP? UU BHP dirancang tidak terlepas dari kepentingan asing negeri-negeri imperialis untuk melakukan proses liberalisasi pendidikan di Indonesia. Dalam kesepakatan untuk kucuran utang (Letter of Intent/LoI) dari Dana Moneter Internasional (Internasional Monetary Fund/IMF) tahun 1999, pemerintah harus mencabut subsidi untuk pendidikan dan kesehatan. Hal ini yang membuat masyarakat juga menanggung biaya pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab Negara sebagaimana amanat UUD 1945 pasal 31 bahwa pemerintah wajib membiayai pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN/APBD. Akibatnya, sekolah dan kuliah saat ini semakin mahal.

Melalui Bank Dunia (World Bank), pemerintah Indonesia telah mendapatkan kucuran dana utang 114,54 dollar AS untuk membiayai program “Indonesia Managing Higher Education for Relevance dan Efficiency (IMHERE)” yang disepakati Juni 2005 dan berakhir pada Juni 2011. Program ini bertujuan untuk mewujudkan otonomi perguruan tinggi, efisiensi dan relevansi perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar. Salah satu dari pelaksanaan kegiatan tersebut adalah “mendukung adanya regulasi kebijakan terkait perguruan tinggi” yang tidak lain adalah RUU BHP. Bank Dunia juga yang menyarankan agar anggaran pendidikan di dalam APBN harus dipangkas dengan alasan menyedot 45 persen dari total APBN yang di dalamnya termasuk anggaran guru dan dosen.

Pemerintah Indonesia sejak tahun 2001 telah meratifikasi Kesepakatan Bersama Tentang Perdagangan Jasa (General Agreements on Trade and Services/GATS) Organisasi Perdagangan Dunia (WorldTrade Organization/WTO) yang menjadikan pendidikan sebagai salah satu jasa komoditas (barang dagangan). Dengan kata lain pendidikan (utamanya pendidikan tinggi) merupakan bisnis dan terbuka bagi investasi baik swasta dan asing.

Adapun skema dari WTO yaitu : 1) cross border supply dimana PT asing menawarkan kuliah-kuliah melalui internet dan on-line degree programme, 2) consumption abroard dimana mahasiswa Indonesia belajar di PT luar negeri , 3) commercial presence di mana PT asing membentuk partner, subsidary atau twinning arrangement dengan PT local, 4) Presence of natural persons di mana dosen dari PT asing mengajar di PT lokal.

Untuk otonomi perguruan tinggi, bentuk penerapannya telah dilakukan dengan merubah status beberapa perguruan tinggi negeri terkemuka di Indonesia seperti UI, ITB, IPB, UGM, UPI, USU, Unair dan Undip sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum Milik Negara (PTN BHMN) yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 1999 tentang Perguruan Tinggi dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 1999 tentang Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum. Kedua peraturan ini lazim disebut sebagai PP 60/61 1999.

Dari penerapan BHMN tersebut, yang sangat mencuat adalah mahalnya biaya pendidikan dan praktek-praktek bisnis secara terbuka. Mulai dari kenaikan biaya SPP, pembukaan jalur khusus hingga cara menjaring investasi dari perusahaan perdagangan ataupun bank untuk menanamkan investasinya ke dalam kampus melalui unit-unit komersial yang didirikan oleh kampus. Sehingga di kampus BHMN, kita tidak hanya menjumpai gedung perkuliahan, tetapi juga akan melihat sponsor sebuah produk, ATM-ATMN hingga toko waralaba seperti alfamart.

Kesimpulan yang bisa kita tarik, UU BHP adalah upaya dari pemerintah dengan pengaruh kepentingan asing kaum imperialis untuk menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan (bisnis) yang nantinya hanya membuat jurang yang semakin mendalam antara miskin dan kaya, karena yang bisa bersekolah hanya mereka yang sanggup membiayai pendidikan yang saat ini semakin mahal.

Kalo pendidikan dijadikan bisnis, apa bedanya kampus dengan perusahaan jasa? Coba tanya ke Rektormu?

PERSOLAAN DALAM UU BHP

Bab Konsideran :
Dalam konsideran menimbang point a disebutkan bahwa dibutuhkan otonomi pendidikan berupa Manajemen Berbasis Sekolah dan Otonomi Perguruan Tinggi dalam mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Kemudian pada point b disebutkan untuk itu semua penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan harus berbentuk badan hukum.

Artinya hal ini semakin menegaskan bahwa memang pemerintah telah melepaskan tanggung jawabnya atas penyelenggaraan pendidikan.

Bab I Ketentuan Umum

Pasal 1 :
Disebutkan bahwa Badan Hukum ini berlaku bagi penyelenggaran pendidikan yang didirikan baik oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat non pemerintah dari SD hingga perguruan tinggi.

Artinya bagi sekolah dan perguruan tinggi negeri atau swasta akan berstatus sebagai badan hukum. Sementara di dalam ayat 11 disebutkan pendanaan yang dibutuhkan BHP adalah pendanaan untuk kegiatan pendidikan formal. Jika demikian ini seharusnya menjadi tanggung jawab Negara, kenapa harus melalui BHP?

Pasal 3 :
BHP berdasarkan Manajemen Berbasis Sekolah dan Otonomi Perguruan Tinggi.

Artinya RUU ini melegitimasi praktek seperti yang terjadi dalam kampus BHMN yang mengacu pada otonomi perguruan tinggi negeri.

Pasal 4 (tentang prinsip2 BHP)
ayat 1 :
BHP didasarkan pada prinsip Nirlaba yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya bukanlah mencari sisa lebih, sehingga apabila ada sisa lebih dari kegiatan BHP, seluruh hasilnya harus ditanamkan kembali dalam meningkatkan mutu dan pelayanan pendidikan.

Artinya, jika BHP tidak mencari keuntungan tetapi hasil dari sisa lebih bisa digunakan untuk menambah kekayaan ataupun menjaring investasi dengan dalih peningkatan mutu dan pelayanan pendidikan yang bebannya tentu akan berada di pundak mahasiswa seperti pembukaan jalur khusus, kenaikan biaya SPP dan biaya-biaya operasional pendidikan lainnya.

Ayat 2 :
Point a tentang prinsip otonomi. Disebutkan BHP memiliki otonomi secara akademik dan non akademik.

Untuk akademik sangat memungkingkan untuk dibuatnya aturan-aturan akademik untuk meredam kebebasan mimbar akademik dan kebebasan berorganisasi, mengingat untuk menjaga citra sekolah atau kampus. Karena kampus atau sekolah telah membuka diri bagi investasi, sehingga dia perlu keamanan bagi lancarnya investasi dalam kampus. Hal itu juga dilihatkan dengan pembatasan masa kuliah, pengetatan sistem presensi (75%) untuk nilai, pemadatan jadwal kuliah 5 hari seminggu, tidak boleh ada Semester Pendek (SP), hingga DO bagi mahasiswa yang kritis atau tidak memenuhi beberapa pra syarat akademik. Di beberapa kampus juga saat ini dibuat aturan tentang kode etik, jam malam, larangan bagi organisasi independen (yang sering diistilahkan organisasi ekstra kampus) hingga hanya boleh organisasi yang beraliran politik tertentu yang bolek eksis di dalam kampus.

Untuk non akademik, terutama menyangkut pengelolaan dana. Artinya dengan demikian, sekolah atau kampus bisa dengan sesuka hati menerapkan biaya yang harus dikeluarkan pelajar atau mahasiswa untuk menikmati kesempatan belajar. Dan ini akan semakin meningkatkan praktek-praktek komersialisasi pendidikan. Juga penggunaan fasilitas sekolah atau kampus untuk keperluan komersil seperti penggunaan aula atau auditorium untuk pesta perkawinan dan sebagainya yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan akademik. Bahkan dalam kenyataan, mahasiswa pun dikenakan beban biaya untuk menggunakan fasilitas kampus.

Dalam point b dan c tentang prinsip akuntabilitas dan transparansi ternyata hanya ditujukan kepada pemangku kepentingan yang disinipun tidak diperjelas. Kemungkinan hal ini hanya berlaku bagi pihak pemerintah dan mereka yang berinvestasi di BHP.

BAB II : Jenis, Bentuk, Pendirian, Pengesahan
Pasal 6 :
BHP terdiri dari BHP Penyelenggara (mengelola lebih dari satu satuan pendidikan formal), BHP Satuan Pendidikan (mengelola satu satuan pendidikan formal) serta BHP Penyelenggara dan Satuan Pendidikan (mengelola lebih dari satu satuan pendidikan berbadan hukum).

Hal ini akan mendorong setiap sekolah dan kampus untuk berlomba-lomba menjadikan sekolahnya sebagai BHP karena menguntungkan dan member ruang bagi adanya praktek-praktek akuisisi atau merger yang mengancam keberadaan kampus-kampus kecil dan sekolah rendahan.

Pasal 7 :
BHP terdiri dari BHPP (pemerintah pusat), BHPPD (pemerintah daerah), BHPM (masyarakat) ayat 1. Dalam ayat 2 disebutkan bahwa BHPP dan BHPM dapat mengelola satu atau lebih jenis dan jenjang pendidikan. Sementara BHPD hanya untuk PAUD, SD-SMU, pendidikan umum, kejuruan, keagamaan dan atau pendidikan khusus.

Artinya akan timbul kontradiksi antara pemerintah daerah dan pusat terkait pengelolaan BHP masing2. Kemudian untuk perguruan tinggi masih berada dalam wewenang pemerintah, artinya bahwa ini tidak lain untuk menjamin pemasukan bagi pemerintah pusat selain tentunya memberlakukan politik anti rakyat pemerintah terhadap mahasiswa. Dalam ayat 3 untuk pendirian BHPM cukup dengan akte notaris.

Artinya, sangat memudahkan bagi swasta untuk mendirikan BHP. Dengan demikian semakin menegaskan proses privatiasi pendidikan.

Pasal 8 :
Dalam ayat 3 tentang syarat pendirian BHP disebutkan salah satu syaratnya adalah tersedianya kekayaan BHP yang terpisah dari kekayaan pendiri. Artinya, BHP tersebut sebelum disahkan harus punya kekayaan awal dahulu yang bukan milik para pendirinya.

Pertanyaannya, darimana kekayaan awal tersebut akan didapatkan? Manalagi jika bukan dengan memeras uang dari pelajar dan mahasiswa serta upaya-upaya komersil seperti saat ini. Apalagi biaya yang dipisah tersebut harus memenuhi seluruh operasional pendidikan BHP? Kemudian disebutkan pula dalam bahwa harus ada syarat organ pengambil kebijakan umum tertinggi. Secara konkret saat ini, apa yang dimaksudkan organ pengambil kebijakan umum tertinggi adalah Komite/Dewan Sekolah dan Majelis Wali Amanat (MWA).

Pasal 9 :
Dalam ayat 2, pembuatan dan perubahan anggaran dasar BHP dilakukan oleh pendiri. Artinya, segala aturan tentang BHP berada ditangan sepenuhnya di tangan pendiri. Tetapi jika bicara sekolah atau kampus, bukan hanya pengelola saja, tetapi ada guru, murid, dosen, mahasiswa dan para karyawan yang justru menjadi faktor menentukan dalam sekolah atau kampus.

Artinya ini menunjukkan sisi tidak demokratisnya, karena konstituen utama yaitu mahasiswa atau pelajar serta guru atau dosen kurang dilibatkan.

Pasal 12 :
Dalam ayat 1 disebutkan bahwa lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau diakui dinegaranya dapat mendirikan BHP di Indonesia melalui cara bekerja sama dengan BHP Indonesia yang telah ada.

Artinya, hal ini membuka peluang bagi masuknya investasi asing dan transformasi budaya imperialis dalam dunia pendidikan Indonesia.

Bab III : Tata Kelola
Pasal 15 (tentang organ penentu kebijakan umum tertinggi)
Dalam ayat 1 dan 2 disebutkan untuk menentukan kebijakan umum tertinggi di BHP dilakukan oleh organ penentu kebijakan umum tertinggi) dan ini merupakan organ tertinggi di BHP. Dalam ayat 3 dan 4 tentang susunannya di dalamnya disebutkan bahwa untuk PAUD, SD-SMU terdiri dari : pendiri atau wakil pendiri, pemimpin satuan pendidikan (kepala sekolah), wakil pendidik, wakil tenaga kependidikan dan wakil komite sekolah/madrasah. Untuk perguruan tinggi terdiri dari : pendiri atau wakil pendiri, wakil organ penentu kebijakan akademik, pemimpin satuan pendidikan, wakil tenaga kependidikan dan wakil masyarakat. sementara unsure lain dapat diperbolehkan tergantung kemauan (ayat 5). Dalam ayat 6, wakil pendiri bisa lebih dari satu orang. Pasal ini sangat diskriminatif karena unsur dari pelajar dan mahasiswa tidak dilibatkan sama sekali sebagai konstituen terbesar. Dan pihak pendiri diperbolehkan memilik wakil lebih.

Artinya kemudian pihak pendiri inilah yang akan sangat banyak mempengaruhi kebijakan umum BHP.

Pasal 16 :
Bahwa wakil diluar pendiri hanya 1/3 dari keseluruhan anggota organ tertinggi pengambil kebijakan umum BHP. Sementara untuk jumlah dan komposisi pimpinan yang mengelola lebih dari satu satuan pendidikan dan wakil komite sekolah/madrasah lebiha lanjut diatur dalam anggaran dasar BHP.

Artinya semakin menegaskan betapa dominannya kedudukan para pendiri.

Pasal 17 :
Ayat 3, disebutkan bahwa ketua organ penentu kebijakan umum tertinggi tidak boleh berasal dari pemimpin satuan pendidikan, wakil organ penentu kebijakan akademik, waki tenaga pendidi/tenaga kependidikan. Juga disebutkan dalam ayat 5 bahwa baik Ketua dan anggota organ penentu kebijakan umum tertinggi dapat dipilih kembali setelah masa jabatan 5 tahun untuk satu kali masa jabatan.

Lantas siapa lagi yang akan menjabat ketua organ penentu kebijakan umum tertinggi selain wakil dari pendiri? Lantas jika diantara mereka ada yang korupsi apa masih layak dipilih?

Pasal 18 :
Dalam pasal ini diungkapkan tentang wakil pendiri yaitu Gubernur, Bupati atau Walikota untuk BHPD dan Menteri (pendidikan), Menteri Agama, menteri lain dan Kepala lembaga pemerintah non departemen untuk BHPP. Sementara untuk BHPM ditentukan dalam anggaran dasar BHP.

Artinya, intervensi Negara justru menguat dalam menentukan kebijakan di kampus atau sekolah. Kemungkinan kepentingan politik dari pemerintah atas kampus atau sekolah akan sangat mewarnai kebijakan BHP dan itu berarti akan sangat melenceng dari kepentingan dunia pendidikan. Hal dalam kenyataan terjadi terutama dalam pemilihan rekor di kampus2 BHMN, dimana wakil pemerintah sangat berperan penting bagi terpilih atau tidaknya seorang rektor.

Bab IV : Kekayaan
Pasal 31 :
Ayat 1 : Kekayaan BHP berasal dari kekayaan pendiri yang dipisahkan menjadi kekayaan BHP
Ayat 2 : kekayaan dan penerimaan pendapatan serta sisa hasil kegiatan BHP adalah milik BHP dan dikelola secara mandiri oleh BHP itu.
Ayat 4 : semua bentuk penerimaan pendapatan dan sisa hasil kegiatan BHPP dan BHPD yang diperoleh dari penggunaan kekayaan Negara yang telah dipisahkan sebagai kekayaan BHPP dan BHPD, tidak termasuk pendapat Negara bukan pajak.

Artinya, kekayaan pendiri itu harus dikembalikan kepada pengelola BHP. Dan tetap ada pajak yang harus disetorkan BHPP dan BHPD kepada Negara? Pertanyaannya dari mana pajak tersebut didapatkan? Apalagi jika bukan dengan beban biaya kepada pelajar dan mahasiswa serta mengkomersilkan aset-aset kampus.

Bab V : Pendanaan
Pasal 33 :
Ayat 2 : pendanaan pendidikan formal yang diselenggarakan BHP menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan.

Artinya, bahwa pendanaan pendidikan tidak sepenuhnya lagi dari pemerintah tetapi juga dari masyarakat. Ini bertentangan dengan UUD 1945 bahwa pemerintah berkewajiban atas pendanaan pendidikan (pasal 31 ayat 4)

Pasal 34 :
Dalam pasal ini disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menanggung seluruh pembiayaan pendidikan dasar (operasional pendidikan, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik) sementara untuk sekolah menengah dan perguruan tinggi hanya 2/3 dana dari pemerintah dan pemerintah daerah. selain itu dalam ayat 4 dianjurkan bahwa peserta didik dapat menanggung biaya pendidikan dengan ketentuan 1/3 dari seluruh biaya operasional. Sementara bantuan yang diberikan dalam bentuk hibah.

Disini jelas terlihat seluruh pembiayaan tidak sepenuhnya di bawah tanggung jawab pemerintah, bahkan pemerintah pun harus menanggung biaya investasi. Suatu hal yang aneh tentunya? Dan apakah hibah itu gratis?

Pasal 35 :
Dalam pasal ini BHP dapat mendirikan badan usaha berbadan hukum. Artinya, BHP bisa mendirikan unit-unit usaha komersil seperti yang ada dalam kampus BHMN guna mendapatkan pendapatan BHP.

Artinya ini menghilangkan esensi utama lembaga pendidikan, karena juga melakukan praktek bisnis.

Pasal 36 :
Dalam pasal ini disebutkan bahwa pemerintah juga menanggung biaya untuk BHPM sebagaimana dalam pasal 34.

Pertanyaannya, kenapa tidak dioptimalkan dana pemerintah untuk mendirikan sekolah dan kampus negeri dan bukan sebaliknya memberi kesempatan seluas-luasnya kepada swasta, karena keuntungan yang akan diperoleh swasta bisa berlebih karena juga mengelola secara sendiri selain bantuan dari pemerintah.

Pasal 37 :
Dalam pasal ini disebutkan bahwa masyarakat dapat memberikan dana pendidikan untuk biaya investasi, biaya operasi, beasiswa dan bantuan biaya pendidikan (ayat 1) dengan berbagai bentuk seperti sumbangan pendidikan, hibah, wakaf, zakat, pembayaran nadzar, pinjaman, sumbangan perusahaan dan penerimaan lain yang sah (ayat 2) dan untuk itu pemerintah dan pemerintah daerah akan memberikan kemudahan atau insentif pajak (ayat 3).

Pasal ini sesungguhnya memberikan kelonggaran bagi investasi di dalam dunia pendidikan dan semakin menegaskan tidak bertanggungjawabnya pemerintah dalam membiayai pendidikan. Membuka diri untuk investasi berarti menyatukan dunia pendidikan untuk kepentingan kaum imperialis mengeruk untuk dari investasi baik modal yang harus dikembalikan hingga pada penguasaan terhadap hak atas kekayaan intelektual.

Itulah beberapa persoalan yang tercantum dalam perumusan RUU BHP. Secara jelas telah memberikan pemaparan pendidikan dan institusi pendidikan tidak ubahnya lagi dengan sebuah perusahaan jasa.

KESIMPULAN
Dari pembedahan atas kandungan RUU BHP, bisa didapatkan beberapa kesimpulan penting yaitu :

1. Privatisasi Pendidikan
UU BHP secara jelas menegaskan bahwa pendidikan tidak lagi menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi tanggung jawab bersama masyarakat yang secara konkret dengan adanya otonomi pendidkan untuk mengelola kurikukulum hingga soal pendanaan. Karena proses investasi juga dijamin dalam RUU BHP, termasuk investasi dari asing. Terbukti bahwa untuk sekolah menengah dan perguruan tinggi pemerintah hanya menanggung 2/3 dananya. Parahnya, ini berlaku untuk TK hingga Perguruan Tinggi.

2. Komersialisasi Pendidikan
Dengan kesempatan pengelolaan pendidikan secara otonom, membuka kesempatan bagi sekolah atau perguruan tinggi untuk menerapkan caranya sendiri-sendiri dalam mengeruk pendanaan, seperti kenaikan biaya SPP, pemberlakuan jalur khusus, pungli, pendirian unit-unit komersil, hingga komersialisasi atas aset2 kampus (aula, sarana olahraga, dsb).

3. Perubahan Orientasi Pendidikan
Lembaga pendidikan tidak lagi menjadi institusi pencerdasan bangsa, tetapi berubah menjadi perusahaan jasa karena lebih mengedepankan aspek pencarian keuntungan dibandingkan menata kualitas pendidikan.

4. Tidak Ada Demokratisasi
Kedudukan organ penentu kebijakan umum tertinggi BHP yang menentukan segalanya, terutama oleh pendiri telah mengancam proses demokratisasi apalagi dia memiliki prosentase lebih besar di dalamnya. Sementara pelajar/orang tua wali dan mahasiswa tidak dilibatkan sama sekali dalam organ ini, tetapi harus menjalankan kebijakan yang ditentukan.

5. Ancaman Kesejahteraan bagi Guru, Dosen dan Karyawan
Guru, dosen dan karyawan terancam karena harus melakukan perjanjian kerja untuk bekerja di BHP yang sesuai dengan AD/ART BHP dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


TOLAK UU BHP, SELAMATKAN PENDIDIKAN KITA!
Berdasarkan penyimpulan di atas, maka UU BHP ini harus ditolak karena tidak akan menjadi jawaban bagi bobroknya sistem pendidikan nasional saat ini. UU BHP ini justru terus membawa dunia pendidikan Indonesia ke jurang kehancurannya. Dan kenyataan saat ini dimana banyak kampus yang terus mempersiapkan menuju BHP memperlihatkan kondisi kampus yang semakin mahal biayanya, demokratisasi dipasung dan lain sebagainya. Harus ada upaya-upaya secara serius untuk menyikapi hal ini, terutama dari mahasiswa yang akan sangat merasaka imbasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

unek-unek